CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 14 April 2008

cerita rakyat kuansig sekitarnya


SIPALO


Memang sudah kebiasaan bagi mak Sipalo bangun pagi-pagi setiap hari. Tangguk terkepit disebelah kanan. Perikek unjuik tergantung dipunggung. Dengan berjalan seorang diri mak Sipalo menyelusuri daerah perkampungan. Setelah melewati beberapa bukit yang berbatuan. Kini barulah mak Sipalo sampai ke daerah perkampungan yang dipenuhi oleh perkebunan karet. Biasanya mak Sipalo sampai disini, orang yang punya kebun karet, baru hanya beberapa batang karet siap ditakiik. Tetapi pagi ini telah banyak yang selesai di takik, itulah tandanya mak Sipalo agak terlambat pergi menangguk ciput pada hari ini. Mungkin karena pada malam tadi agak kurang tidur, karena Sipalo anaknya agak demam.
Setelah sampai ditempat menangguk ciput, mak Sipalo duduk dulu sambil mengeluarkan bukungan sirihnya. Dengan kunyap-kunyap mak Sipalo melumatkan daun sirih yang dimakannya. Beberapa menit kemudian barulah mak Sipalo turun ke danau tempat ia menangguk. Matahari di ufuk timur mulailah memamncarkan cahayanya keseluruh pelosok nusantara ini. Tak beberapa lama kemudian ber-isi-lah perikek unjuik mak Sipalo. Musim sekarang memang ciputnya banyak, tak begitu lama mencarinya. Mungkin karena tidak diketahui oleh orang kampung. Tempatnya memang agak tersemunyi dan hanya sekelupak yang berair, kalau orang melihatnya dari atas bukit sana tak akan menyangka orang disini ada ciputnya.
Menjelang matahari tegak pulanglah mak Sipalo, karena pada hari ini mendapat rezeki dari yang maha kuasa. Lagi-lagi perikek unjuik penuh, mudah-mudahan pak Midun akan gembira menyambut kedatangannya hari ini, Pak Midun langganan tetap mak Sipalo langsung disambut dengan senyum oleh Pak Midun, setelah dikasih beras oleh Pak Midun pulanglah mak Sipalo, sesampai dirumah dijumpainya Sipalo telah menunggu tergeletak didepan pintu.
” Apakah kamu masih demam Palo?” sapaan maknya.
” Sudah agak betah mak ! Apakah mak hari ini banyak dapat ciput ”.
” Isnya Allah Palo, hari ini masih ada rezeki ”.
Sipalo ngelesek-ngelesek dilantai mengikuti maknya kedapur. Maknya menghidupkan api dan mencuci beras untuk ditanak siang hari ini.
” Apakah siang nantik habis makan siang mak pergi lagi ke ladang mak ?”.
Entalah Palo, sudah letih mak rasanya untuk pergi ke ladang, hasilnya juga tak pernah memuaskan. Tak pernah selamat panennya ”.
Begitulah kehidupan mak Sipalo dan anaknya, apabila si Palo ingin jalan-jalan, terpaksalah digendong maknya. Karen Sipalo tidak mempunyai kaki dan tangan seperti orang lain, hanya kepala bulan, telinga, mata dan mulut untuk berbicara.
* * *
Hari demi hari, minggu, bulan berganti bulan. Setahun kemudian dewasalah Sipalo, genap berusia dua puluh lima tahun, kebetulan pula pada hari itu hari pekan. Lagi pula maknya sedang beruang sedikit. Hasil dari pencarian ciputnya, karena selama ini menyimpan sedikit demi sedikit.
Dengan digendongnya Sipalo dan tak lula pula parikek unjuik yang selalu dibawa kemana-mana tergantung dipunggung maknya. Tentu gunanya untuk tempat keperluan perbelanjaan dapur yang akan dibeli. Sesampainya dipasar Sipalo seakan-akan komando perang saja. Karena selalu menyuruh maknya kesana, kesini, melihat itu, melihat ini. Tentu juga maknya maklum, karena hanya sekali saja pergi kepasar, sebelum pulang Sipalo mengajak maknya terlebih dahulu minum cendol, karena minum cendol sangatlah doyannya Sipalo sejak dari kecil.
Lalu maknya membawa Sipalo kedangau-dangau yang ditepi jalan dekat pintu masuk ke paar, karena selama ini orang banyak bilang cendol yang dijual disini sangatlah enaknya dan langganan bagi orang-orang bujang-bujangan. Sesampai di dangau-dangau mak Sipalo disuruh duduk oleh yang empunya dangau. Pantaslah orang bujang-bujang ramai di dangau-dangau ini. Rupanya yang berjualan cendol adalah gadis-gadis semuanya berempat beradik. Dengan nikmatnya mak Sipalo meminum cendol dan begitu juga Sipalo disuapi maknya. Kesempatan Sipalo pada itu tak lupa pula mencuri-curi pandang anak gadis yang berempat itu, yang membuat Sipalo berhayal.
” Aduh, amboi mulus dan bersih-bersihnya gadis ini ”.
Selesai minum cendol mak Sipalo membayarnya lalu pulang kesal dan pensaran juga Sipalo karena belum puas memandang anak-anak gadis itu. Tapi ada boleh buat maknya membawa Sipalo cepat pulang. Kalau menyangga tak mungkin. Hanya maknya satu-satulah tempat Sipalo bergantung, tempat mengadu, minta tolong untuk selama akhir hayatnya.
* * *
pada malam harinya Sipalo bermimpi dapat burung yang cantik, dan sampai pagi harinya Sipalo badannya terasa demam. Tapi demamnya lain, dikatakan penyakit demamnya, nikmat juga rasanya, tak mau sembuh rasanya Sipalo dari demamnya. Berkatalah Sipalo kepada maknya, menyampaikan apa-apa hasrat hatinya. Karena menurut pikiran Sipalo memang sudah pantas pulalah ia sekarang untuk berbini. Apalagi orang yang sebayanya telah banyak yang punya anak, lagi pula masalah umur telah cukup berumah tangga, dan kapan lagi mau berbini.
” Mak ...! mau nggak mak mengantarkan Palo untuk berbini ”.
Tentu mak Sipalo terperanjat mendengar ucapan anaknya, dan lalu maknya menjawab.
” Mana mungkin dan siapa pula orang yang akan mau berbini dengan kamu ! sedangkan kamu hanya kepala saja yang punya, orang yang wajib berbini itu orang yang cukup sehat jasmani dan rohani. Sedangkan kamu masih banyak kekurangannya Palo ”.
” Jodoh dan rezeki di tangan Tuhan mak, apakah hidup dan kejadian isi alam ini mak tak percaya dijadikan Tuhan...?”
” Kalau masalah itu kau katakan sama mak, mak sudah lama percaya, semuanya itu kepercayaan kita yang menjadi persoalan dirimu, hanya sebuah kepala bulat saja. Siapa yang mau ”.
Dengan permintaan demikian rasanya mak Sipalo rasa-rasa tidak sanggup menjalankan perintah anak. Hampir satu minggu mak Sipalo bermuram tak banyak berkata apa-apa sama anaknya. Begitu juga dengan Sipalo maknya agak berkurang, kemudian dari pada bathin tersiksa, walaupun tidak akan mungkin yang penting hure-hure hati kecil disampaikan maksudnya, akhirnya terkeluar juga ucapan Sipalo sama maknya.
” Mak .... tolong mak! Mohon ampun Palo mak, tolonglah coba-coba mana tahu Tuhan mengabulkan permintaan kita, berikanlah Palo maaf mak. Kalau Palo rasa bersalah pada mak ?”
Dengan permintaan kedua kali ini rasanya timbul juga rasa kasihan mak Sipalo terhadap anaknya, biarlah demi anak satu-satunya maknya akan jalankan perintah anaknya. Apapun yang akan terjadi.
” Kepada siapa Palo untuk diantarkan ?”.
Kepada anak gadis yang berempat berjualan cendol dipasar tempo dulu mak ! jawab Sipalo
” Gadis yang mana ? gadis itu empat orang ”
” Mana yang mau sajalah mak, itu nanti jodoh Palo ”.
Besok harinya mulailah mak Sipalo mendatangi rumah anak gadis yang berempat beradik itu.
Sesampainya dirumah Siti Lindung Bulan. Mak Sipalo dan Palo disuruhnya naik kerumah, dibentangkanlah tikar oleh Adik Siti yang paling kecil yang namanya Siti Bungsu, alangkah main gembiranya hati Sipalo, karena disambut dengan baik oleh yang punya rumah. Besar kemungkinan lamaran akan diterima, tak berkedip mata Sipalo memandangnya kepada gadis-gadis itu.
Mulailah mak Sipalo membuka pembicaraan, dan mengantarkan maksud dan kedatangannya kesitu.
” Begini Siti Lindung Bulan, mak datang kesini disuruh Sipalo guna menyampaikan hasrat hatinya, yang mana Sipalo ini anak mak mau melamar kamu untuk dijadikan bini ”.
” Apa ? Sipalo anak mak! Melamar Siti untuk dijadikan bini ...! Allahuwalla ta’allam mak! Tak sadar keuntung, dari pado bebibini dengan Sipalo anak mak ini lebih baik anjing Laki Siti atau jadi Perawantua sampai mati. Tuaaaaaaaa.....!
Siti Lindung Bulan Meludahi Sipalo
Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, hanya jawaban pahit dan hinaan serta ludahan yang diterima oleh Sipalo dan maknya. Dengan perasaan tak menentu Sipalo dan maknya pulang membawa kekecewaan. Sesampai dirumah mak Sipalo berkata kepada padanya
” Sudah tahu kamu Sipalo? Hanya dapat caci maki dan ludahan yang kita terima ”.
” Mak tak usah kecewa betuk mak! Masih ada tiga adiknya lagi ”.
Walaupun merasa agak kecewa, hari berikutnya mak Sipalo datang lagi kerumah gadis itu.
Juga sama dengan hari kemarin, begitu juga hari ketiga sama juga dengan hari yang telah berlalu. Hanya caci maki dan ludahan yang diberikan
* * *
Sudah sekian lama Sipalo dan Siti Bungsu menjalankan hidup berumah tangga. Telah banyak pula liku-liku kehidupan yang telah didahuluinya. Apalagi ocehan-ocehan dari orang kampung beraneka ragam, tapi bagi Sipalo dan Siti Bungsu tidak jadi masalah, memang hidup ini komedi belaka, kalau ketika ada itu orang itu, apalagi tidak punya.
” Siti Bungsu, abang punya usulan buat kamu, pertama berilah abang maaf, seandainya usulan abang tidak kamu senangi ”.
” Usulan apa itu bang ? tidak usah abang ragu dan takut, apakah Siti Bungsu ini istri abang ? bicaralah bang !”.
” Begini Siti Bungsu berjualan sayuranlah hari tiap hari pekan, cobalah lihat Siti dikebut kita banyak ditumbuhi pakis, rebunpun banyak, jantung pisang pun laku dipasar ”.
” Cuma satu usulan Siti bang, seandainya sayuran Siti lambat habis, tentu Siti lambat pulang bang, apakah abang ngak marah nantiknya, apalagi Siti tidak tega meninggalkan abang sendirian dirumah ”.
” Oh, itu tidak menjadi masalah Siti. Abang dari dulu sebelum kita kawin sering juga ditinggal mak ”.
Hari Pekan depan mulailah Siti Bungsu berjualan, seperti pakis, rebung, jantung pisang dan lain-lainnya. Sesampainya dipasar Siti Bungsu mencari tempat jualannya, tapi hanya ada tempat diluar pasar, tempat tidak ada lagi. Kebetulan tempat jualan Siti Bungsu dibelakang kakak-kakaknya yang berjualan cendol. Alangkah cemberut kakaknya yang bertiga itu memandang kepada Siti dan ocehan yang kotor didengar oleh Siti Bungsu.
” Siapa pula yang mau belanja dengan kamu, lagak kamu saja seperti orang tua-tua, pakai kain lusuh lagi, kain Siti saja bisa tegak surang ”.
Karena ucapan demikian sangatlah terbahak-bahak ketawanya, bahkan orang yang berjualan dekat kakan Siti Bungsu pun ketawa mendengarnya.
Tapi walaupun demikian Siti Bungu hanya diam saja, hanya Siti ingat bagaimana seandainya masih sampai siang nggak juga habis sayurannya terjual, bisa-bisa lambat pulang, kasihan rasanya abang Palo sendirian.
* * *
Tak beberapa kemudian, datanglah orang menunggang kuda masuk kepasar, lagak dan gayanya seperti seorang pangeran, semua orang dipasar terheran dibuatnya. Ada juga sebaian orang yang berjualan meninggalkan barangnya karena ingin melihat lebih dekat. Begitu juga dengan Siti Lindung Bulan, Siti Baheran, Siti Rawi sampai tertumah manisan cendolnya karena tersentuh tanpa merka sadari. Apalagi si penunggang kuda itu menuju kepada Siti Bungsu, menambah kecemburuan kakak-kakaknya. Sesampai didekat Siti Bungsu si penunggang kuda langsung membeli semua sayur-sayuran yang dijual Siti Bungsu, tanpa menawar betul, langsung diborong. Dengan senang hati dan gembira, pulanglah Siti Bungsu dengan harapan akan cepat sampai dirumah dan bertemu dengan abangnya Sipalo, sesampai dirumah Sipalo tergeletak menunggu didepan pintu. Dari jauh Siti Bungsu telah ketawa dan begitu juga Sipalo menyambut senyuman bininya dengan senyuman yang manis.
” Cepat sekali kamu pulang Siti Bungsu. ” Sapaan Sipalo
” Ya bang, tadi dipasar ada orang yang menunggang kuda membeli semua sayuran Siti ”.
” Apa ia membeli semuanya ? tanya Sipalo
Begitu seterusnya tiap hari pekan, selalu orang penunggang kuda yang selalu membelinya jualan Siti Bungsu.
Dengan hasil jualan sayuran Siti Bungsu telah jadi kaya raya, namun Siti Bungsu tak mau meninggalkan profesinya berjualan Pakis, pada satu hari pekan, Siti Bungsu telah berangkat pagi-pagi kepasar membawa jualannya.
Pada kesempatan itu mak Simah mengintip kerumah Siti Bungsu, mak Simah ini memang tetangga dekat Siti Bungsu, diperhatikannya gerak-gerik Sipalo, Ngelesek-ngelesek kerjanya dirumah, dari dapur ketengah, dari dapur kedapur. Tak lama kemudian makin lama berubah, akhirnya timbulah asap, kemudian asap hilang. Berdirilah orang penunggang kuda. Lama kelamaan ia pun berangkat dengan kudanya, aneh dan memang ajaib sekali.
Mak Sima mengusap-ngusap mukanya, seakan-akan bermimpi ia rasanya. Tetapi ini memang kenyataan, bukan mimpi lagi, sekarang hanya sebuah kepala kososng yang tinggal dirumah Siti Bungsu, rupanya Sipalo suami Siti Bungsu mengerungsung.
Supaya lebih menyakinkan Mak Sima setiap hari pekan selalu mengintip ke rumah Siti Bungsu, apa sebenarnya terjadi memang sudah pasti suaminya Siti Bungsu ini hanya mengelabui dirinya sebagai kepala, diberitahukan oleh Mak Siman kepada Siti Bungsu apa yang diketahuinya.
” Siti Bungsu, minggu depan marilah kita lakukan, kita bakar kepala suamimu itu. Dengan demikian tentu suami kamu itu akan seperti orang biasa ”.
Itulah saran Mak Sima kepada Siti Bungsu
Setelah sampai hari pekan yang dinanti-natikan, pagi-pagi berangkatlah si Siti Bungsu membawa jualannya kepasar. Sesampai dipasar diletakkannya jualannya ditempat biasa, setelah itu Siti kembali pulang melalui jalan pintasan.
Dan mulailah Mak Sima dan Siti Bungsu mengintip kerumahnya, memang betul dan tak salah lagi, apa yang dikatakan Mak Sima benar semuanya. Sipalo telah mulai mengerungsung dan keluar dari kepalanya. Telah menjadi manusia biasa. Kemudian ia meninggalkan kerungsungnya menaiki kuda langsung pergi kepasar. Pada kesempatan itulah Mak Sima dan Siti Bungsu membakar kerungsung Sipalo, setelah itu Siti Bungsu kembali ke pasar. Seakan-akan tak tejradi apa-apa pada diri Siti Bungsu
Tak beberapa kemudian datanglah suaminya berkuda, langsung saja menuju kepada Siti Bungsu, tanpa banyak tawar ia langsung aja bayar semuanya. Setelah ia pulang duluan. Siti Bungsu lambat pulang kerumah
Sesampainya dirumah suaminya terkejut. Karena kerungsungnya telah dibakar orang. Tentu tidak bisa lagi mengelabui dirinya sebagai si Palo. Mulai detik ini nebjadi manusia biasalah suami Siti Bungsu untuk selamanya sampai akhir hayat. Tetapi kelebihannya banyak dari pada orang kampung. Orang belum punya kuda. Hanya suami Siti Bungsu orang yang punya kuda. Lagi pula orang gagah dan perkasa.
Dengan perasaan bahagia Siti Bungsu hari ini bercerita-cerita pada suaminya. Memang Siti dan mak Simalah yang membakar kerungsung diwaktu abang pergi kepasar. Setelah itu Siti sendiri pergi kepasar jalan-jalan bergitu juga suaminya bercerita. Pakis yang abang beli sma kamu selama ini abang buagn disemak belukar dekar rumah Mak sima. Mungkin telah setinggi gunung kalau dikumpulkan.
Rupanya dibalik bahagianya. Ada juga orang yang tidak senang mlihatnya. Apakah kakak-kakak Siti Bungsu. Diwaktu suami Siti Bungsu tidak dirumah. Datanglah kakak-kakaknya yang bertiga menemui adiknya. Mau minta maaf . Tetapi bukan maaf tujuannya. Hanya pingin merebut suami adiknya. Tertarik pula hati kakak-kakaknya karena kegagahanya. Diikatnya kaki dan tangan Siti Bungsu. Kemudian diletakkanya diatas loteng rumah. Dan ditelungkupu dengan kuali yang besar.
Setelah suami Siti pulang. Tentu heran. Dan dijumpainya dirumah kakak-kakaknya. Tetapi baginya tak jadi masalah.
”Kapan kakak datang ?” sapaan suami Siti Bungsu.
”Sudah lama juga.” jawab kakak-kakaknya.
”Kemana Siti Bungsu.”
”Itulah. Malangbagi kita ! adik kami Siti Bungsu diculik dan dibawa pergi oleh sang penculik kenegeri seberang.”
Mendengar ucapan demikian itu suami Siti Bungsu langsung berang. Dan naik keatas loteng dan mengambil pedangnya. Tetapi rupanya Atuhan tidak sia-sia kepada umatnya yang tak bersalah. Suami Siti Bungsu tersandung kakinya ditelinga kuali. Dan menjeritlah Siti Bungsu. Lalu Siti Bungsu menceritakan dudeuk persoalan yang sebenarnya. Makin menjadi-jadi berangnya. Karena tak tertahankan lagi. Dilemparkannya kuali itu oleh suami Siti Bungsu. Dengan sekuat-kuatnya.
”Hi........................... Ya........!”
Kuali melayang diudara. Makin lama makin jauh. Akhirnya setelah melewati sebuah kampung. Barulah kuali itu jatuh disebelah hutan. Malam harinya isi kampung sangat cepat sekali tidurnya. Hanya beberapa orang saja berbual-bual kedai kopi. Tak lain dan tak bukan ngomong kejadian pada siang tadi. Hening dan sepi rasanya.
Besok paginya isi kampung sangat gempar lagi. Karena apa yang telah terjadi. Hutan tempat jatuhnya kuali yang dilemparkan oleh suami Siti Bungsu telah menjadi sawah. Sawah yang terbentang luas sekali.
Masyarakat berduyun-diytun berdatangan. Hanya nyang mereka jumpai pecahan-pecahan kuali yang dilemparkan suami Siti Bungsu.
Diadakanlah rapat massa oleh pak penghulu. Dan membagi-bagi sawah secara merata sawah yang telah menjadi itu kepada masyarakat umum siapa yang berminat. Dan hari itu resmilah daerah persawahan itu dinamai ;Kuali Pocah.
Sampaii sekarang persawahan kuali pocah setiap tahunya selalu baik panen padinya.
Kalau ada yang ingin tahu daerah persawahan kuali pocah. Datanglah kenegeri Simandolak ±14 Kilometer dari Kota Taluk Kuantan. Ibu kota dari kota kuantan Tengan Kabupaten Kuantan Singingi-Riau Daratan.